Jumat, 20 Juni 2014

PEMERINTAH DAERAH , GEREJA , LEMASA /LEMASKO DAN KEAMANAN SEGERA CARI SOLUSI DAN ATASI KONFLIKTIMIKA



Pemerintah  , Gereja , Lemasa , Lemasko dan Pihak Keamanan segera Mengatasi  konflik Di Timika

Tanah Papua merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang masih menyimpan berbagai macam permasalahan sosial. Salah satu masalah sosial yang sampai sekarang telah ada dan masih terjadi adalah konflik sosial. Konflik sosial yang terjadi di Tanah Papua sangat beragam dan mencakup semua lini kehidupan, mulai dari aspek sosial, budaya, politik dan ekonomi. Konflik sosial yang terjadi di Tanah Papua pada beberapa tahun belakangan ini juga tidak terlepas dari pokok permasalahan tersebut, utamanya adalah konflik sosial yang dipicu oleh perbedaan suku, budaya dan golongan atau kelompok, sesuai dengan karakteristik dan dianggapnya sebagai salah satu permasalahan yang dapat merugikan dan mengganggu bahkan melanggar aturan dan norma yang berlaku pada suku-suku yang ada. 
Masalah persinahan atau perselingkuhan, pembunuhan, kematian tidak wajar, dan rasa dendam yang mendalam merupakan salah satu penyebab perang suku di daerah Pedalaman Papua. Disamping itu konflik internal antar suku yang terjadi di waktu lampau juga menjadi salah satu faktor penyebab perang suku dan kelompok di daerah pedalaman papua  yang dapat menyebabkan kerugian secara fisik maupun materi lainnya.   suku-suku asli Papua yang mendiami daerah tersebut yaitu Suku Dani, Suku Nduga, Suku Dem,  Suku Damal/ Amungme, Suku Moni, Suku Wolani serta Suku Ekari/Mee, dan suku-suku lainnya. Suku-suku tersebut merupakan suku-suku yang mempunyai tradisi perang yang sangat kuat.
Dalam hal ini kami dari solidaritas mahasiswa asal  kabupaten mimika dihimbaukan Kepada seluruh lapisan Masyarakat ,Tokoh Adat, Tokoh Agama,Pemerintah Daaerah, Lemasa ,Lemasko,Dedominasi Gereja ,SLD serta Keamanan yang ada di Bumi Amungsa Kabupaten Mimika bahwa ; segera atasi Konflik masyarakat makan masyarakat atas ketidak pastian masalah  , padahal Negara ini mempunyai Hukum Adat , Hukum Agama , dan juga Hukum positif .
Apakah “Negara kesatuan republic Indonesia “ NKRI mempunyai dasar Hukum atau Hukum positif  yang kuat untuk menjalin hubungan antara masyarakat dan Negara  demi menjaga keamanan bersama Republika Indonesia  ataukah hukum tersebut  tidak berlaku di Tanah Papua , biarkan mereka begitu sampai musnah ditanahnya sendiri ?. Kalau  Negara Hukum berarti segera berlaku dikabupaten mimika . Jangan Hukum/UUD jadikan koperasi untuk jual/beli sosiodemokrasi.
Tuhan memandang kebawah kolong langit dari sorga ketika anak – anak manusia untuk melihat , apakah ada yang berakal budi dan yang mencari allah .tidak sadarkah semua orang yang melakukan kejahatan yang memakan habis umatku seperti memakan roti , dan yang tidak bersedu kepada tuhan ? disanalah mereka ditimpa kekejutan yang besar. dasarnya memiliki pola pemahaman dan penanganan yang sama. Perang suku dilihat sebagai suatu tindakan yang negative, sebagai suatu kriminalitas, yang bertentangan dengan hukum-hukum positif maupun hukum-hukum agama. Karena pemahaman semacam ini, perang suku harus dihentikan dan ditiadakan. Dengan pemahaman semacam ini, peran ketiga lembaga di atas harus mencari solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut, tidak lebih dari seorang polisi penjaga, yang melerai dan menghentikan pertikaian . Anehnya, sekalipun ketiga lembaga itu melihat perang sebagai sesuatu yang negative, tetapi  dalam upaya mereka untuk menghentikan dan meniadakan perang suku, ketiganya justru memanfaatkan mekanisme penyelesaian perang secara adat yaitu membayar ganti rugi kepada pihak korban disertai upacara bakar batu. Ketiga lembaga itu percaya bahwa perang suku baru akan berhenti ketika pihak-pihak yang bertikai melakukan pembayaran ganti rugi kepada pihak korban disertai upacara bakar batu.  Pengakuan terhadap nilai-nilai kultural serta digunakannya nilai-nilai tersebut untuk menyelesaikan perang suku, tentu merupakan suatu hal yang sangat penting dan bermanfaat. Terbukti, suatu perang suku baru bisa dihentikan ketika pokok perang membayar ganti rugi serta upacara bakar batu dilaksanakan. Akan tetapi pola penanganan semacam ini punya dua kelemahan yang mendasar.
 Pertama, pola penanganan semacam ini bersifat parsial. Artinya, penanganan semacam ini hanya effektif untuk satu kasus. Ketika kasus yang lain muncul maka perang akan muncul kembali. Kelemahan ini sudah terbukti dalam sejarah. Meskipun perdamaian secara adat telah sering dilakukan untuk menghentikan dan mendamaikan pihak-pihak yang terlibat dalam perang suku, akan tetapi ketika masalah yang baru muncul maka perang kembali terjadi. Kenyataan seperti ini memperlihatkan bahwa upacara membayar ganti rugi dan upacara bakar batu bukan suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifat preventif. Padahal, ketika perang dilihat sebagai sesuatu yang negative, diperlukan suatu mekanisme penyelesaian perang suku yang bersifat preventif sehingga perang tidak terus menerus terulang.
Kedua, penanganan secara adat justru akan semakin memperkokoh keutamaan kategorisasi (kelompok) sosial. Padahal kategorisasi sosial justru menjadi penyebab utama dari berbagai konflik sosial. Ketika keutamaan dari kategorisasi sosial ini terus-menerus dikukuhkan, itu berarti konflik sosial antar kategorisasi sosial akan terus terulang. Atau, dengan kata lain ketika nilai-nilai kultural setiap suku yang ada di pedalaman papua terus menerus dipertahankan dan mendapat legalitas secara politik maupun religious maka perang antar suku akan terus menerus terjadi.
karena dilihat dari hal negativenya masalah yang terjadi dikalangan masyarakat tersebut tidak diatasi oleh pihak keamanan tetapi mereka yang tambah besar padahal masalahnya sepele saja. Hal seperti ini pada Bapak kepala Daerah tingkat II yang baru saja terpilih harus berbicara untuk keamanan dan juga pada pihak gereja,sebab gereja juga ada masalah .
Salah satu solusi yang tepat …!
karena dilihat dari hal negativenya masalah yang terjadi dikalangan masyarakat tersebut tidak diatasi oleh pihak keamanan tetapi mereka yang tambah besar padahal masalahnya sepele saja. Hal seperti ini , Kepada Bapak kepala Daerah tingkat II yang baru saja terpilih harus berbicara untuk keamanan dan juga pada pihak gereja,sebab gereja juga ada punya  masalah , menurut kami  solidaritas mahasiswa mimika ,  penanganan perang suku yang dilakukan secara adat terbukti tidak mampu mengatasi perang suku secara permanen. Penanganan yang hanya mengedepankan persoalan cultural itu justru semakin mengukuhkan penyebab utama konflik, yaitu kategorisasi social. Oleh karena itu perlu diusahakan suatu bentuk penanganan konflik yang baru.
Sebuah pertanyaan yang pantas dikedepankan dalam upaya mencari solusi terbaik bagi perang suku adalah ketika nilai-nilai kesukuan menjadi penyebab utama dari perang suku, apakah nilai-nilai kesukuan harus dihilangkan? Jawaban akan hal ini tentu bukan hal yang mudah. Sebab ketika nilai-nilai kesukuan dihilangkan, akan beresiko terjadinya ketercerabutan kultural. Untuk mengatasi hal ini, sumbangan teori identitas sosial dalam menangani konflik sosial akan sangat berguna, utamanya proposalnya tentang dekategorisasi dan rekategorisasi.
Melalui dekategorisasi, keterikatan individu dengan kelompoknya dieliminir sedemikian rupa sehingga hubungan antar individu semakin dipersonalkan. Sehingga ketika berinteraksi, setiap inidividu tidak mewakili kelompoknya, tetapi sebagai seorang individu-individu yang unik. Pun demikian dalam hal cara pandang individu terhadap yang lain. Karena individu bukan wakil suatu kelompok, maka ketika terjadi konflik antar individu, kelompok tidak turut terlibat dalam konflik. Dekategorisasi akan mempersempit wilayah konflik sehingga terbatas pada konflik antar individu.
Pada titik ini, penyelesaian konflik antar individu yang bisa memuaskan kedua belah pihak perlu dipikirkan. Sejarah perang suku dalam sepuluh tahun terakhir memperlihatkan bahwa semula perang suku terjadi karena konflik antar individu. Pihak-pihak yang terlibat konflik tidak puas dengan penyelesaian berdasarkan hukum positif. Sebab, disamping rendahnya kesadaran mereka terhadap hukum positif, mereka juga melihat bahwa hukum positif tidak mampu menggantikan sesuatu yang hilang akibat dari suatu kasus, yaitu persoalan harga diri. Sebagai ganti, mereka lebih menyukai penyelesaian berdasarkan hukum-hukum adat.  Berdasarkan pada hal ini, nilai-nilai kultural suku-suku yang ada di papua perlu dipikirkan sebagai salah satu acuan hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus yang bisa memicu lahirnya perang suku.
Jalan untuk memanfaatkan nilai-nilai kultural sebenarnya sudah terbuka lebar. Sebab pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU no. 21 tahun 2001, bab XIV tentang kekuasaan peradilan. UU tersebut mengatakan bahwa “peradilan adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.” Dan ayat 2 dikatakan “pengadilan adat di susun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.” Mencermati isi dari ketentuan-ketentuan tersebut, akan sangat bijak ketika sebuah institusi peradilan adat yang eksistensi dan otoritasnya diakui oleh semua kelompok suku yang ada dibangun.
·         Akar  masalah yang harus diperhatikan dan diselesaikan
Ø  Segera selesaikan secara adat pada pihak gereja dengan pengangkatan Hukum 10  perintah pada 12 tahun yang lalu.
Ø  Pindahkan keamanan yang ada di kabupaten mimika ke kota lain karena mereka inilah yang menambahkan masalah yang sepele menjadi besar dan masalah yang besar seperti pembunuhan itu hanya semacam hal biasa , maka segera diditugaskan ke tempat lain dan gantikan prajurit baru .
Ø  Segera tutup tempat Dulang ,mulai dari mil 28 sampai mil 74
Kalau masih belum tutup tidak pernah berhenti namanya konflik
Kesimpulan dari kami solidaritas mahasiswa Mimika memohon kepada  kepala daerah yang baru terpilih Eltinus Omaleng  dan wakilnya ambil strategis  peraturan daerah “ Perda “  utamakan pendidikan dan kesehatan karena kami memelihara perang terus nantinya orang lain yang menguasai jadi diperketatkan aturan daerah menuju perubahan  yang baru tuk membangun Negeri Mimika yang Tercinta .
“Harapan kami mahasiswa adalah segera Atasi konflik ditimika
                                                                                 Mnukwar ,20 juni 2014
©        Penulis Meanus Egatmang