Pemerintah , Gereja , Lemasa , Lemasko dan Pihak Keamanan
segera Mengatasi konflik Di Timika
Tanah
Papua merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang masih menyimpan berbagai
macam permasalahan sosial. Salah satu masalah sosial yang sampai sekarang telah
ada dan masih terjadi adalah konflik sosial. Konflik sosial yang terjadi di
Tanah Papua sangat beragam dan mencakup semua lini kehidupan, mulai dari aspek
sosial, budaya, politik dan ekonomi. Konflik sosial yang terjadi di Tanah Papua
pada beberapa tahun belakangan ini juga tidak terlepas dari pokok permasalahan
tersebut, utamanya adalah konflik sosial yang dipicu oleh perbedaan suku,
budaya dan golongan atau kelompok, sesuai dengan karakteristik dan dianggapnya
sebagai salah satu permasalahan yang dapat merugikan dan mengganggu bahkan
melanggar aturan dan norma yang berlaku pada suku-suku yang ada.
Masalah
persinahan atau perselingkuhan, pembunuhan, kematian tidak wajar, dan rasa
dendam yang mendalam merupakan salah satu penyebab perang suku di daerah
Pedalaman Papua. Disamping itu konflik internal antar suku yang terjadi di
waktu lampau juga menjadi salah satu faktor penyebab perang suku dan kelompok
di daerah pedalaman papua yang dapat menyebabkan kerugian secara fisik
maupun materi lainnya. suku-suku asli Papua yang mendiami daerah
tersebut yaitu Suku Dani, Suku Nduga, Suku Dem, Suku Damal/ Amungme, Suku
Moni, Suku Wolani serta Suku Ekari/Mee, dan suku-suku lainnya. Suku-suku
tersebut merupakan suku-suku yang mempunyai tradisi perang yang sangat kuat.
Dalam
hal ini kami dari solidaritas mahasiswa asal
kabupaten mimika dihimbaukan Kepada seluruh lapisan Masyarakat ,Tokoh Adat,
Tokoh Agama,Pemerintah Daaerah, Lemasa ,Lemasko,Dedominasi Gereja ,SLD serta
Keamanan yang ada di Bumi Amungsa Kabupaten Mimika bahwa ; segera atasi Konflik masyarakat makan masyarakat atas
ketidak pastian masalah , padahal Negara
ini mempunyai Hukum Adat , Hukum Agama , dan juga Hukum positif .
Apakah
“Negara kesatuan republic Indonesia “ NKRI mempunyai dasar Hukum atau Hukum
positif yang kuat untuk menjalin
hubungan antara masyarakat dan Negara
demi menjaga keamanan bersama Republika Indonesia ataukah hukum tersebut tidak berlaku di Tanah Papua , biarkan mereka
begitu sampai musnah ditanahnya sendiri ?. Kalau Negara Hukum berarti segera berlaku dikabupaten
mimika . Jangan Hukum/UUD jadikan koperasi untuk jual/beli sosiodemokrasi.
Tuhan memandang kebawah kolong
langit dari sorga ketika anak – anak manusia untuk melihat , apakah ada yang
berakal budi dan yang mencari allah .tidak sadarkah semua orang yang melakukan
kejahatan yang memakan habis umatku seperti memakan roti , dan yang tidak
bersedu kepada tuhan ? disanalah mereka ditimpa kekejutan yang besar. dasarnya memiliki pola pemahaman dan penanganan yang sama.
Perang suku dilihat sebagai suatu tindakan yang negative, sebagai suatu
kriminalitas, yang bertentangan dengan hukum-hukum positif maupun hukum-hukum
agama. Karena pemahaman semacam ini, perang suku harus dihentikan dan
ditiadakan. Dengan pemahaman semacam ini, peran ketiga lembaga di atas harus
mencari solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut, tidak lebih dari seorang
polisi penjaga, yang melerai dan menghentikan pertikaian . Anehnya, sekalipun
ketiga lembaga itu melihat perang sebagai sesuatu yang negative, tetapi
dalam upaya mereka untuk menghentikan dan meniadakan perang suku, ketiganya
justru memanfaatkan mekanisme penyelesaian perang secara adat yaitu membayar
ganti rugi kepada pihak korban disertai upacara bakar batu. Ketiga lembaga itu
percaya bahwa perang suku baru akan berhenti ketika pihak-pihak yang bertikai
melakukan pembayaran ganti rugi kepada pihak korban disertai upacara bakar
batu. Pengakuan terhadap nilai-nilai kultural serta digunakannya
nilai-nilai tersebut untuk menyelesaikan perang suku, tentu merupakan suatu hal
yang sangat penting dan bermanfaat. Terbukti, suatu perang suku baru bisa
dihentikan ketika pokok perang membayar ganti rugi serta upacara bakar batu
dilaksanakan. Akan tetapi pola penanganan semacam ini punya dua kelemahan yang
mendasar.
Pertama,
pola penanganan semacam ini bersifat parsial. Artinya, penanganan semacam
ini hanya effektif untuk satu kasus. Ketika kasus yang lain muncul maka perang
akan muncul kembali. Kelemahan ini sudah terbukti dalam sejarah. Meskipun
perdamaian secara adat telah sering dilakukan untuk menghentikan dan
mendamaikan pihak-pihak yang terlibat dalam perang suku, akan tetapi ketika
masalah yang baru muncul maka perang kembali terjadi. Kenyataan seperti ini
memperlihatkan bahwa upacara membayar ganti rugi dan upacara bakar batu bukan
suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifat preventif. Padahal, ketika
perang dilihat sebagai sesuatu yang negative, diperlukan suatu mekanisme
penyelesaian perang suku yang bersifat preventif sehingga perang tidak terus
menerus terulang.
Kedua, penanganan secara adat justru akan semakin memperkokoh
keutamaan kategorisasi (kelompok) sosial. Padahal kategorisasi sosial justru
menjadi penyebab utama dari berbagai konflik sosial. Ketika keutamaan dari
kategorisasi sosial ini terus-menerus dikukuhkan, itu berarti konflik sosial
antar kategorisasi sosial akan terus terulang. Atau, dengan kata lain ketika
nilai-nilai kultural setiap suku yang ada di pedalaman papua terus menerus
dipertahankan dan mendapat legalitas secara politik maupun religious maka
perang antar suku akan terus menerus terjadi.
karena dilihat dari hal negativenya
masalah yang terjadi dikalangan masyarakat tersebut tidak diatasi oleh pihak
keamanan tetapi mereka yang tambah besar padahal masalahnya sepele saja. Hal
seperti ini pada Bapak kepala Daerah tingkat II yang
baru saja terpilih harus berbicara untuk keamanan dan juga pada pihak
gereja,sebab gereja juga ada masalah .
Salah satu solusi yang tepat …!
karena
dilihat dari hal negativenya masalah yang terjadi dikalangan masyarakat
tersebut tidak diatasi oleh pihak keamanan tetapi mereka yang tambah besar
padahal masalahnya sepele saja. Hal seperti ini , Kepada
Bapak kepala Daerah tingkat II yang baru saja terpilih harus berbicara untuk
keamanan dan juga pada pihak gereja,sebab gereja juga ada punya masalah , menurut
kami solidaritas mahasiswa mimika ,
penanganan perang suku yang dilakukan secara adat terbukti tidak mampu
mengatasi perang suku secara permanen. Penanganan yang hanya mengedepankan
persoalan cultural itu justru semakin mengukuhkan penyebab utama konflik, yaitu
kategorisasi social. Oleh karena itu perlu diusahakan suatu bentuk penanganan
konflik yang baru.
Sebuah pertanyaan yang pantas
dikedepankan dalam upaya mencari solusi terbaik bagi perang suku adalah ketika
nilai-nilai kesukuan menjadi penyebab utama dari perang suku, apakah
nilai-nilai kesukuan harus dihilangkan? Jawaban akan hal ini tentu bukan hal
yang mudah. Sebab ketika nilai-nilai kesukuan dihilangkan, akan beresiko
terjadinya ketercerabutan kultural. Untuk mengatasi hal ini, sumbangan teori
identitas sosial dalam menangani konflik sosial akan sangat berguna, utamanya
proposalnya tentang dekategorisasi dan rekategorisasi.
Melalui dekategorisasi, keterikatan
individu dengan kelompoknya dieliminir sedemikian rupa sehingga hubungan antar
individu semakin dipersonalkan. Sehingga ketika berinteraksi, setiap inidividu
tidak mewakili kelompoknya, tetapi sebagai seorang individu-individu yang unik.
Pun demikian dalam hal cara pandang individu terhadap yang lain. Karena
individu bukan wakil suatu kelompok, maka ketika terjadi konflik antar
individu, kelompok tidak turut terlibat dalam konflik. Dekategorisasi akan
mempersempit wilayah konflik sehingga terbatas pada konflik antar individu.
Pada titik ini, penyelesaian konflik
antar individu yang bisa memuaskan kedua belah pihak perlu dipikirkan. Sejarah
perang suku dalam sepuluh tahun terakhir memperlihatkan bahwa semula perang
suku terjadi karena konflik antar individu. Pihak-pihak yang terlibat konflik
tidak puas dengan penyelesaian berdasarkan hukum positif. Sebab, disamping
rendahnya kesadaran mereka terhadap hukum positif, mereka juga melihat bahwa
hukum positif tidak mampu menggantikan sesuatu yang hilang akibat dari suatu
kasus, yaitu persoalan harga diri. Sebagai ganti, mereka lebih menyukai penyelesaian
berdasarkan hukum-hukum adat. Berdasarkan pada hal ini, nilai-nilai
kultural suku-suku yang ada di papua perlu dipikirkan sebagai salah satu acuan
hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus yang bisa memicu lahirnya perang suku.
Jalan untuk memanfaatkan nilai-nilai
kultural sebenarnya sudah terbuka lebar. Sebab pemerintah Indonesia telah
mengeluarkan UU no. 21 tahun 2001, bab XIV tentang kekuasaan peradilan. UU
tersebut mengatakan bahwa “peradilan adalah peradilan perdamaian di lingkungan
masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili
sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum
adat yang bersangkutan.” Dan ayat 2 dikatakan “pengadilan adat di susun menurut
ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.” Mencermati isi
dari ketentuan-ketentuan tersebut, akan sangat bijak ketika sebuah institusi
peradilan adat yang eksistensi dan otoritasnya diakui oleh semua kelompok suku
yang ada dibangun.
·
Akar
masalah yang harus diperhatikan dan diselesaikan
Ø
Segera selesaikan secara adat pada
pihak gereja dengan pengangkatan Hukum 10
perintah pada 12 tahun yang lalu.
Ø
Pindahkan keamanan yang ada di
kabupaten mimika ke kota lain karena mereka inilah yang menambahkan masalah
yang sepele menjadi besar dan masalah yang besar seperti pembunuhan itu hanya
semacam hal biasa , maka segera diditugaskan ke tempat lain dan gantikan
prajurit baru .
Ø
Segera tutup tempat Dulang ,mulai
dari mil 28 sampai mil 74
Kalau masih belum tutup tidak pernah berhenti namanya
konflik
Kesimpulan dari kami solidaritas
mahasiswa Mimika memohon kepada kepala
daerah yang baru terpilih Eltinus Omaleng
dan wakilnya ambil strategis peraturan daerah “ Perda “ utamakan pendidikan dan kesehatan karena kami
memelihara perang terus nantinya orang lain yang menguasai jadi diperketatkan
aturan daerah menuju perubahan yang baru
tuk membangun Negeri Mimika yang Tercinta .
“Harapan kami mahasiswa adalah segera Atasi konflik ditimika”
Mnukwar
,20 juni 2014
©
Penulis Meanus Egatmang